
Cerdas, pengertiannya tidak bisa direduksi menjadi kemampuan mengatur hidup atau memiliki kreativitas dalam menghadapi masalah. Cerdas juga tidak bisa diwakilkan kepada sosok manusia yang bersorot mata tajam, cergas, berkaca mata, serta sering mengeluarkan ide dan gagasan saat berdiskusi.
Lebih dari itu, cerdas memiliki kemampuan menerawang masa depan, tidak hanya di dunia. Pandangannya menembus alam akhirat. Al Qur'an menyebutkan salah satu karakteristik orang berakal yaitu orang yang selalu mengingat Allah dalam segala keadaan.
"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS.3:191)
Di dunia ini, kegiatan manusia hanya terdiri dari tiga kemungkinan yaitu berdiri, duduk, atau berbaring. Maka orang yang selalu mengingat Allah dalam tiga keadaan ini otomatis selama hidupnya selalu mengingat Allah.
Akhir ayat di atas yang merupakan doa dihindarkan dari neraka merupakan bukti kecerdasan manusia yang memintanya. Surga dan Neraka di akhirat merupakan alam akhir yang akan ditempati seluruh manusia setelah melewati alam dunia dan alam kubur.
Di saat zaman makin menjauh dari masa kenabian, manusia makin dituntut cerdas dalam memilah dan memilih, mana yang harus dikerjakan dan mana yang harus ditinggalkan. Seluruh manusia memiliki hak dan kesempatan yang sama. Manusia diberi kebebasan - dengan bekal akalnya – memilih jalan yang dikehendakinnya, jalan keselamatan atau jalan kesesatan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bahwa sesungguhnya Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Semua ummatku akan masuk Surga, kecuali orang yang enggan (tidak mau).” Para sahabat bertanya: ”Siapa orang yang enggan itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: ”Siapa yang taat kepadaku ia masuk Surga, dan siapa yang durhaka kepadaku, berarti ia sungguh tidak mau.” (HR Bukhori 22/248)
Tidak mudah memang memastikan apakah kita sudah menempuh jalan keselamatan atau justru kesesatan? Indikator penting yang harus kita lihat adalah apakah kita sudah berjalan sesuai dengan petunjuk Al Quran dan Sunnah Rasululah shalalahu alaihi wasalam?
Kita jangan dulu puas dan merasa berada di jalan lurus karena merasa sudah berjalan sesuai Al Quran dan Sunnah. Pertanyaan lanjutan yang ada adalah apakah kita mengamalkan Al Quran dan Sunnah tersebut sesuai dengan pemahaman Rasulullah shalalahu alaih wasalam dan para Sahabat radiallahu anhum? Atau kita mengamalkan Al Quran dan Sunnah sesuai tersebut dengan tafsiran sendiri atau pihak lain selain Rasululah Salalahu alaihi wasalam?
Jadilah pemilih yang cerdas. Di era multitafsir sekarang tidaklah cukup mengatakan “Saya sudah berjalan sesuai dengan Al Quran dan Sunnah”. Harus kita pastikan bahwa tafsiran Al Quran dan Sunnah yang kita pilih adalah tafsiran Al Quran dan Sunnah yang merupakan tafsiran Rasulullah shalalahu alaihi wasalam dan para Sahabatnya. Allahu Alam. (Tata Tambi).
Komentar
Posting Komentar