
Antara Nikah dan Maisyah
Fenomena yang wajar menurutku, ketika mau menikah, calon istri dan calon mertua bertanya tentang maisyah (penghasilan). Tentu, calon mertua tidak rela kelak anaknya menderita kelaparan atau telantar begitu saja.
Aku mengalami sendiri, pertama kali mendatangi rumah calon istri, salah satu pertanyaan calon bapak mertua adalah "Kerja di mana Adik?".
Bingung juga saat itu. Menjawab pengangguran, rasanya kurang sopan. Mengarang cerita, mengatakan sudah bekerja, hati ini tidak berani karena sudah keluar dari tempat bekerja.
"Maaf Pak, memang sekarang saya tidak punya pekerjaan tetap. Saya baru keluar dari pekerjaan akhir bulan lalu. Insya Allah dalam waktu dekat ada pekerjaan tetap. Mudah-mudahan" akhirnya aku beretorika.
Alhamdulillah, calon bapak mertua nampaknya tidak mempersoalkan jawabanku. Setidaknya dia tidak terus membahas tentang pekerjaan. Pertanyaan beralih kepada hal lainnya.
Tapi rupanya persoalan belum tuntas. Kakak tertua calon istri ternyata lebih jeli dari camer untuk menelisik perkara pekerjaan. “Kalau belum bekerja, bagaimana bisa menafkahi keluarga?” begitu kira-kira peringatan dari kakak tertua calon istriku saat itu.
Di satu sisi ana membutuhkan pekerjaan secepatnya agar bisa melamar, di sisi lain beberapa jenis pekerjaan yang bisa cepat didapat banyak menimbulkan mudarat. Maklum, mencari pekerjaan zaman sekarang tidak semudah membalik telapak tangan.
Alhamdulillah, pertolongan Allah tiba. Tepat awal bulan berikutnya, aku diterima bekerja menjadi pengajar di salah satu pesantren yatim di Bogor, Jawa Barat. Dengan bekal status pengajar ana segera menghubungi calon keluarga calon istriku untuk acara lamaran (khitbah).
Alhamdulillah, acara khitbah berjalan lancar. Bapak, paman, dan dua saudara dekat ikut menghadiri acara khitbah. Disepakati pula walimahan diadakan tiga bulan berikutnya.
Segala puji bagi Allah, dengan nikmat-Nya sempurnalah semua bentuk kebaikan. Kini, satu anak putri dan satu anak putra telah lahir. Aku merasakan sebuah keluarga yang sakiinah, mawaddah, warohmah, walau belum punya rumah.
Kepada para pemuda yang menunda menikah dengan alasan belum mempunyai maisyah (penghasilan), atau sudah berpenghasilan tapi masih merasa 'pas-pasan', pesanku, kaji kembali alasan yang Anda kemukakan.
Seluruh rizki telah diatur oleh Allah ta'ala sejak manusia berada di alam rahim. Manusia tidak akan mampu menteorikan rizki yang dikaruniakan-Nya. Urusan ini tidak bisa dilogikakan. Ada banyak variabel dalam urusan rizki ini yang tidak terduga oleh akal manusia.
Rizki tidak bisa dimatematiskan seperti perkataan,"Jika saya hidup sendiri, gaji saya cukup. Kalau nanti punya isteri, gaji saya tidak akan cukup". Ini adalah perkataan yang tidak sesuai Al Qur'an Al Karim dan hadits-hadits Rasulullah salallahu alaihi wasalam.
Perhatikan janji Allah berikut "…jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui." {Qs. An Nuur (24): 32}
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasalam menguatkan janji Allah 'Azza wa Jalla tersebut melalui sabdanya,"Ada tiga golongan manusia yang berhak mendapat pertolongan Allah: (1) mujahid fi sabilillah, (2) budak yang menebus dirinya supaya merdeka, dan (3) orang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya". (Hasan diriwayatkan Ahmad, An Nasai, Tirmidzi, Ibnul Majah, Ibnul Jarud, Ibnul Hibban, dan al Hakim dari sahabat Abu Hurairah radiallahu 'anhu).
Jadi, tunggu apa lagi? Nikah adalah penyalur gharizah insaniah (naluri kemanusiaan) yang sah. Jangan terpengaruh oleh iklan sebuah produk yang memopulerkan jargon "Kapan Kawin..? Kapan-Kapan...". Segera Khitbah dan nikah, sekarang juga! (Tata Tambi)
Komentar
Posting Komentar