
Melihat calon penumpang kereta berjubel, aku terburu-buru menuju gerbang stasiun kereta Beos. Kuarahkan kaki ini menuju loket pembelian tiket kereta Jakarta-Bogor. Seperti biasanya, sore itu calon penumpang dari berbagai kalangan berderet, antri membeli tiket kereta.
Di deretan depan, seorang ibu nampak lelah menggendong anaknya. Di belakangnya dua remaja yang berkostum stelan kaos dan jeans asyik mengobrol. Tidak jauh dari depanku seorang pria dewasa mengamati terus monitor yang baru dibelinya. Sementara persis di dekat loket penjualan tiket, ibu-ibu dan anak-anak pengemis setia menunggu pemberian recehan sisa kembalian para penumpang.
Tiba-tiba aku dikagetkan suara seorang bapak dari samping. "Maaf Dik, bisa nitip beli karcis. Barang bawaan saya berat!". Aku menoleh, sesosok tubuh kurus dengan sorot mata tajam menatapku. Pundaknya memanggul beban karung besar yang menyebabkan badannya agak bungkuk dan pandangannya tidak bisa lurus ke depan.
Pandanganku bergerak ke bawah menyusuri kemeja dan celana panjang yang agak lusuh. Pandanganku tertumbuk kepada sandal jepit yang dipakainya. Awalnya aku berpikir dia adalah kuli panggul yang biasa mangkal di stasiun.
"Ini uangnya, tiket ke Bogor ya!" suara si bapak menyadarkanku. Segera kuraih dua lembar uang ribuan dari tangannya. Kini giliranku membeli tiket. "Bogor Pak, dua!" teriakku kepada petugas tiket. Kusodorkan selembar uang lima ribu rupiah.
Setelah menerima karcis kereta Jakarta-Bogor, bergegas aku menghampiri si bapak yang menitip beli karcis. Aku serahkan satu lembar tiket. Setelah aku serahkan, aku berbalik dan segera menuju tempat pemberangkatan kereta.
"Dik, sebentar, tunggu..!" tiba-tiba suara si bapak kembali terdengar. Tergopoh-gopoh ia mengejarku sambil membawa selembar uang ribuan. "Tadi kan uangnya kurang, ini kekurangannya, seribu," setengah memaksa si bapak meletakkan uang kertas seribu rupiah di telapak tanganku.
Tanpa dapat kucegah, uang seribu itu berada dalam genggamanku. Sedetik kemudian tubuh kurus dengan beban karung besar dipundaknya itu berlalu dari hadapanku. 'Pak, Pak tunggu, kurangnya kan lima ratus rupiah! Ini kembaliannya Pak, lima ratus..!" aku balik mengejar.
Tapi rupanya tubuh kurus itu masih cukup trengginas untuk menyelinap dan berjalan di antara kerumunan calon penumpang kereta. Aku kehilangan jejak. Dia sudah menghilang bersama karung besar di pundaknya.
Setengah tidak percaya kupandangi selembar uang ribuan di tanganku. Aku tertegun beberapa detik mengingat kejadian barusan. Aku tertegun bukan karena nominal uang yang diberikan si bapak itu. Aku tertegun karena sikap si bapak yang begitu kuat menjaga harga dirinya.
Terus terang, saat melihat penampilan fisiknya, aku menganggap ia orang yang hidup 'pas-pasan' dan membutuhkan bantuan. Makanya, saat aku memberikan tiket keretanya, aku sengaja tidak menagih kekurangan uangnya dan cepat-cepat pergi.
Tapi dugaanku meleset. Si bapak itu ternyata orang yang kaya dan tidak membutuhkan pemberian uang dari orang lain. Bahkan sebaliknya, ia mengejarku dan memaksaku menerima selembar uang kertas ribuan. Justru kini aku menerima uang lebihan darinya.
Ketika di sekelilingku masih banyak peminta-minta, justru si bapak itu mau memberi. Ketika masyarakat berlomba-lomba dan tanpa malu memasang stiker bertuliskan RUMAH TANGGA MISKIN di depan pintunya, justru si bapak itu bersikap menjaga kehormatannya.
Padahal, dari penampilan fisik dan sikap, aku yakin, si bapak itu bukanlah orang yang berkelas ekonomi-sosial mengengah-atas. Maksimal dia sama dengan kelas ekonomi-sosial aku yang menengah ke bawah. Tapi subhanallah, sikap menjaga diri (iffah)nya sangat tinggi.
Aku juga jadi teringat, saat pemerintah menggelontorkan dana kompensasi BBM beberapa tahun ke belakang, betapa banyak orang yang merelakan dirinya dikategorikan penduduk miskin. Mereka pun tetap merasa miskin walaupun ketika mengambil dana kompensasi tersebut mengendarai sepeda motor milik pribadi.
Tidak hanya itu, saat mengantri dana kompensasi, tanpa risih, mereka sibuk bertelepon ria melalui hp-nya. Di sela-sela jarinya pun terselip sebatang Dji Sam Soe, atau minimal Gudang Garam Filter. Padahal fatwa para ulama pun jelas mengharamkan rokok. Selain pemborosan, merokok membahayakan kesehatan tubuh.
Islam sangat memperhatikan iffah, menjaga harga diri dan kerhormatan, terutama dari meminta-minta kepada sesama manusia. Allah akan memuliakan orang yang menahan diri dari meminta-minta. Sementara bagi para peminta-minta, kelak dibangkitkan di hari Kiamat dengan muka tanpa daging.
Rasulullah mengecam dan mengancam para peminta-minta melalui sabdanya "Seseorang senantiasa meminta-minta kepada manusia sehingga ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya". (Sahih diriwayatkan Bukhari dan Muslim). (Tata Tambi, Bogor)
Komentar
Posting Komentar